Archive

Archive for the ‘Sanitarian Guide’ Category

Target STBM

Target STBM Sesuai Renstra Depkes RI
Sebagai bahan sharing pertanyaan mbak Feli, SKM – berikut disampaikan target STBM sesuai Renstra Depkes. Sebetulnya niatnya bahan ini dituliskan di “Ruang Berbagi”, namun karena terlalu panjang, dan belum sempat setting di admin shoubox, maka sharing ini dituliskan di posting ini. Mohon maaf sharing terlambat di posting (maklum sudah agak lama gak berkunjung ke blog ini  …. ). Jika ada temen yang punya informasi target STBM lebih detail bisa di posting di blog ini.
Oh ya  .. terkait dengan hal tersebut, jika ada temen akan berbagi, baik dalam bentuk tulisan maupun informasi lainnya, dapat kirimkan emailnya ke kita, nanti kita masukkan dalam user blog ini, dan bisa melakukan posting dan menulis berbagi artikel disini. 

Target STBM sesuai Renstra Kemenkes, sebagai berikut :

FOKUS /KEGIATAN PRIORITAS
INDIKATOR
TARGET
2010
2014
Penyehatan air bersih dan sanitasi
1.     Persentase penduduk yg   memiliki akses  terhadap air  minum yang berkualitas
2.      Persentase kualitas air  minum yang memenuhi  syarat
3.     Persentase penduduk yang menggunakan jamban sehat
4.        Persentase penduduk Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
5.        Persentase propinsi yang      memfasilitasi penyelenggaraan  STBM Sanitasi Total berbasis Masyarakat) sebesar 100%  Kab/Kota
62
85
64
71
18
67
100
75
100
100
Pemeliharaan dan Pengawasan Kualitas   Lingkungan
1.        Persentase cakupan tempat- tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan
2.        Persentase cakupan rumah yang memenuhi syarat kesehatan
3.        Persentase cakupan tempat pengelolaan makanan yang  Memenuhi syarat kesehatan
76
75
55
85
85
75
Pengendalian dampak  resiko pencemaran  lingkungan
Cakupan daerah potensial yang  melaksanakan strategi  adaptasi dampak kesehatan akibat perubahan iklim
20
100
Pengembangan wilayah sehat
1.        Persentase Kab/kota/ Kawasan yang telah  melaksanakan     Kab/Kota/Kawasan sehat
2.        Persentase provinsi yang       memfasilitasi penyelenggaraan kab/kota       sehat yang sesuai standar        sebesar 50%
50
12
100
100
 

Sumber : Renstra  Kementerian  Kesehatan (Bidang Penyehatan Lingkungan) 2010 – 2014
Disampaikan oleh Direktur Penyehatan Lingkungan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Makassar, Kamis  20 Mei 2010)

Target diatas dalam pelaksanaannya dapat di break down per tahun, sehingga aplikatif sesuai kondisi tiap Kabupaten dan Kota.
Categories: Sanitarian Guide

Pengukuran Kebisingan

Cara Pengukuran Tingkat Kebisingan

Suara atau bunyi memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika kita berteriak suara kita lebih kuat daripada berbisik, sehingga teriakan itu memiliki energi lebih besar untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk mengukur intensitas bunyi adalah desibel (dB). Skala desibel merupakan skala yang bersifat logaritmik. Penambahan tingkat desibel berarti kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar. Contoh, jika bunyi bertambah 3 dB, volume suara sebenarnya meningkat 2 kali lipat.sound-level-meter

Kebisingan bisa menggangu karena frekuensi dan volumenya. Sebagai contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih menggangu dari suara berfrekuensi rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari kebisingan, maka perlu dilakukan monitoring dengan bantuan alat:

  • Noise Level Meter dan Noise Analyzer (untuk mengidentifikasi paparan)
  • Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama paparan dan untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.

Ada beberapa macam peralatan pengukuran kebisingan, antara lain sound survey meter, sound level meter, octave band analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain. Untuk permasalahan bising kebanyakan sound level meter dan octave band analyzer sudah cukup banyak memberikan informasi.

Sound Level Meter (SLM)

Adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuk attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan respon manusia.

Octave Band Analyzer (OBA)

Saat bunyi yang diukur bersifat komplek, terdiri atas tone yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi, maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 – 75, 75-150, 300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600 Hz.

Standar Kebisingan

Setelah pengukuran kebisingan dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat diterima oleh telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh berbagai pihak.

  1. Keputusan Menteri Negara Tenaga Kerja No.KEP-51/MEN/1999 tentang nilai ambang batas kebisingan. lihat Tabel 2.3 untuk lebih jelas.
  2. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi No.SE 01/MEN/1978

“Nilai Ambang Batas yang disingkat NAB untuk kebisingan di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu kerja yang terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari dan 40 jam seminggu”

“NAB untuk kebisingan di tempat kerja ditetapkan 85 dB (A)”

 Nilai Ambang Kebisingan Menurut Kep Menaker No. KEP-51/MEN/1999

Waktu Pemaparan

Intensitas (dB A)

8

4

2

1

Jam

85

88

91

94

30

15

7,5

3,75

1,88

0,94

Manit

97

100

103

106

109

112

28,12

14,06

7,03

3,52

1,75

0,88

0,44

0,22

0,11

Detik

115

118

121

124

127

13

133

136

139

 

3. Kriteria Kebisingan Menurut Department of Labor OSHA

Waktu (jam/hari)

Tingkat Kebisingan (dB A)

8

6

4

3

2

1,5

1

0,5

<0,25

90

92

95

97

100

102

105

110

115

 

4. Standard Kebisingan Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.718/Men/Kes/Per/XI/1987, tentang kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan

Pembagian Zona Bising Oleh Menteri Kesehatan

No

Zona

Maksimum dianjurkan (dBA)

Maksimum diperbolehkan (dBA)

1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60
4 D 60 70

Keterangan:

Zona A = tempat penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan dsb;

Zona B = perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya;

Zona C = perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan sejenisnya;

Zona D = industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan sejenisnya.

5. Kriteria Kebisingan menurut Formula ACGIH dan NIOSH. Formula ini, dengan menggunakan rumus tertentu, dipakai untuk menghitung waktu maksimum yang diperkenankan bagi seorang pekerja untuk berada dalam tempat kerja dengan tingkat kebisingan tidak aman.

Kriteria Kebisingan Menurut ACGIH dan NIOSH

DB

Waktu Paparan yang diperbolehkan (jam)

DB

Waktu Paparan yang diperbolehkan(jam)

80

81

82

83

84

85

86

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102

103

104

105

25,4

20,16

16

12,7

10,08

8

6,35

5,04

4

3,17

2,52

2

1,59

1,26

1

0,79

0,63

0,5

0,4

0,31

0,25

0,2

0,16

0,13

0,1

0,08

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

122

123

124

125

126

127

128

129

130

37,5

2,98

2,36

1,88

1,49

1,18

0,94

0,74

0,59

0,47

0,37

0,3

0,23

0,19

0,15

0,12

0,09

0,07

0,06

0,05

0,04

0,03

0,02

0,02

0,01

Categories: Sanitarian Guide

Pengendalian Kebisingan

Cara Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan mutlak diperlukan untuk memperkecil pengaruhnya pada kesehatan kita. Usaha pengendalian kebisingan harus dimulai dengan melihat komponen kebisingan, yaitu Sumber radiasi, Jalur tempuh radiasi, serta Penerima (telinga). Antisipasi kebisingan dapat dilakukan dengan intervensi terhadap ketiga komponen ini.Industrial Noise Control

Secara garis besar, ada dua jenis pengendalian kebisingan, yaitu pengendalian bising aktif (active noise control) dan pengendalian bising pasif (passive noise control).

Pada Active Noise Control dapat dilakukan dengan Kontrol pada Sumber. Pengontrolan kebisingan pada sumber dapat dilakukan dengan modifikasi sumber, yaitu penggantian komponen atau mendisain ulang alat atau mesin supaya kebisingan yang ditimbulkan bisa dikurangi. Program maintenance yang baik supaya mesin tetap terpelihara, dan penggantian proses. Misalnya mengurangi faktor gesekan dan kebocoran suara, memperkecil dan mengisolasi elemen getar, melengkapi peredam pada mesin, serta pemeliharaan rutin terhadap mesin. Tetapi cara ini memerlukan penelitian intensif dan umumnya juga butuh biaya yang sangat tinggi (Goembira, Fadjar, Vera S Bachtiar, 2003). Beberapa upaya untuk mengurangi kebisingan di sumber antara lain (Tambunan, 2005):

  • Mengganti mesin-mesin lama dengan mesin baru dengan  tingkat kebisingan yang lebih rendah
  • Mengganti “jenis proses” mesin (dengan tingkat kebisingan yang lebih rendah) dengan fungsi proses yang sama, contohnya pengelasan digunakan sbg penggantian proses riveting.
  • Modifikasi “tempat” mesin, seperti pemberian dudukan mesin dengan material-material yang memiliki koefisien redaman getaran lebih tinggi.
  • Pemasangan peredam akustik (acoustic barrier) dalam ruang kerja

Antisipasi kebisingan dengan kontrol sumber ternyata 10 kali lebih murah (unit harga terhadap reduksi dB) daripada antisipasi pada propagasi atau kontrol lingkungan. noise controll

Jika kita berada pada lingkungan kerja dengan kebisingan > 100 dB A, maka usaha kontrol pada sumber kebisingan harus dilakukan. Menurut Standard Basic Requirement OSHA, rekayasa mesin harus dilakukan pada kondisi ini, dengan beberapa teknik berikut :

  • Cladding, adalah teknik untuk mengurangi pancaran bising dari pipa akibat aliran fluida di dalamnya. Cladding terdiri atas lapisan penyerap suara dan bahan impermeable. Lapisan ini ada berbagai jenis dengan tingkat atenuasi yang bervariasi.
  • Silencer, Attenuator, Muffler. digunakan untuk mereduksi bising fluida dengan meletakkannya di daerah atau jalur aliran fluida.

Secara praktis di lapangan, pengendalian bising pada sumber dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara pemeliharaan mesin-mesin secara kontinu, penempatan mesin-mesin pada ruangan khusus dan jauh dari kegiatan masyarakat atau karyawan, serta melengkapi mesin-mesin dengan penutup mesin sehingga dapat mengurangi kebisingan.

Metode lain untuk meredam bising seperti penggunaan alat peredam bising “silencer” yang diletakkan pada vent gas. Silencer dapat digunakan untuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi, kompresor, blower, dan pompa vakum. Alat ini didisain sedemikian rupa sehingga aliran udara melewati tabung akustik berlubang yang dikelilingi oleh lapisan tebal dari material penyerap suara yang akan menurunkan kebisingan dengan range frekuensi tinggi dengan penurunan tekanan minimum.

Silencer terbuat dari konstruksi baja dimana permukaan luar dilapisi dengan baik. Alat ini didisain untuk menangani udara kering dengan temperatur di bawah 93oC. Untuk temperatur tinggi digunakan kemasan fiberglass.

clip_image008

Selain pengendalian dengan melakukan kontrol pada sumber bising, pengendalian kebisingan juga dapat dilakukan dengan pengendalian pada medium perambatan. Usaha ini bertujuan untuk menghalangi perambatan suara dari sumber suara yang menuju ke telinga manusia. Untuk menghalangi perambatan, ditempatkanlah sound barrier antara sumber suara dan telingan. Pemblokiran rambatan ini hanya akan berhasil jika sound barrier tidak ikut bergetar (resonansi) saat tertimpa gelombang yang merambat, hal ini sangat tergantung pada bahan dimensi.

Pengendalian kebisingan pada medium propagasi (medium rambat) sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antra lain usaha untuk melakukan pemisahan ruangan dengan sekat atau pembatas akustik; Penggunaan material yang memiliki daya serap suara; Pembuatan Barrier yang berfungsi untuk menghalangi paparan bising dari sumber ke penerima dan dibangun di jalur propagasi antara sumber dan penerima. Usaha lain dapat dilakukan misal dengan memasang panel dan penghalang, serta memperluas jarak antar sumber dan melakukan pemagaran.

Salah satu usaha untuk mereduksi kebisingan pada daerah permukiman, dilakukan dengan Green Barrier yang membatasi daerah sumber kebisingan dengan daerah pemukiman masyarakat. Juga dapat dilakukan dengan memasang dinding pemisah antara sumber-sumber bising dengan ruangan tempat kerja (kedap suara).

Usaha terakhir untuk mengendalikan kebisingan dengan melakukan usaha proteksi secara personal. Proteksi personal yang bisa diterapkan adalah penggunaan earplugs dan earmuffs. Pemilihan antara kedua proteksi ini disesuaikan dengan kondisi. Secara umum, penggunaan earmuffs bisa mengurangi desibel yang masuk ke telinga lebih besar dari earplugs. Namun juga harus diingat bahwa proteksi yang berlebihan sangat dimungkinkan dapat mengurangi efektifitas proses.

Berikut beberapa penjelasan yang terkait dengan Earmuffs dan Earplugs.

Earmuffs, terbuat dari karet dan plastik. Earmuffs bisa digunakan untuk intensitas tinggi (>95 dB), bisa melindungi seluruh telinga, ukurannya bisa disesuaikan untuk berbagai ukran telinga, mudah diawasi dan walaupun terjadi infeksi pada telinga alat tetap dapat dipakai. Kekurangannya, penggunaan earmuffs menimbulkan ketidaknyamanan, rasa panas dan pusing, harga relatif lebih mahal, sukar dipasang pada kacamata dan helm, membatasi gerakan kepala dan kurang praktis karena ukurannya besar. Earmuffs lebih protektif daripada earplugs jika digunakan dengan tepat, tapi kurang efektif jika penggunaannya kurang pas dan pekerja menggunakan kaca mata.

Earplugs, digunakan untuk tingkat kebisingan sedang (80-95 dB), dengan waktu paparan 8 jam. Terdapat berbagai macam earplugs, baik bentuk padat maupun berongga. Bahannya terbuat dari karet lunak, karet keras, lilin, plastik atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.

Penguunaan ear plug mempunyai beberapa keuntungan, selain mudah dibawa karena bentuknya yang kecil, tidak membatasi gerakan kepala, lebih nyaman digunakan pada tempat panas, juga lebih murah (dibandingkan ear muff), Ear Plug juga lebih mudah dipakai bersama dengan kacamata dan helm. Sedangkan kekurangan ear plug atenuasi lebih kecil, sukar mengontrol atau diawasi, resiko infeksi pada saluran telinga.

Pengendalian pada penerima kebisingan dapat dilakukan dengan pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta melengkapi karyawan dengan alat pelindung diri (ear muff dan ear plug).

Categories: Sanitarian Guide